Fenomena Takut Sukses

Jumat, Januari 29, 2010      0 komentar

Sepintas fenomena takut sukses hanya pantas diberikan kepada orang yang tidak waras mengingat semua orang normal pasti menginginkan kesuksesan. Tetapi tidak demikian menurut temuan professor Schein yang hasil temuannya pernah dipublikasikan di Sloan Management Review (dalam The Interactive manager: 1995). Menurut Schein justru yang paling banyak menderita rasa takut sukses adalah orang normal.

Takut sukses adalah fenomena di mana pikiran, perasaan, dan keyakinan kita hanya bekerja untuk menghindari kemungkinan gagal dan titik. Jika kemudian "menghindari ini" dikatakan takut sukses karena kegagalan adalah jalan tunggal menuju kesuksesan. Sejauh apapun orang bisa menghindari kegagalan tetapi penghindaran itu tidak akan memperdekat dia seinci pun dengan kesuksesan. Berdasarkan pengalaman orang sukses dapat disimpulkan bahwa jika anda ingin menemukan kesuksesan tanpa kegagalan, percayalah hal itu hanya akan anda temukan di kamus.

Selain tidak memperdekat, menghindari kegagalan juga akan membuat kita menerima apa yang kita hindari sesuai hukum alam daya tarik bekerja. Kita akan menjadi sosok yang mendominiasi muatan pikiran atau apa yang mendominiasi muatan pikiran akan menarik sesuatu untuk terjadi. Kalau yang mendominasi adalah kegagalan, maka kegagalan itulah yang akan kita terima. Disadari atau tidak, rasa takut sukses telah membatasi kita untuk bergerak maju. Kita takut kehilangan pekerjaan tetapi yang kita lakukan adalah menghindari usaha memperbaiki. Kita takut dibilang tidak sosialis tetapi yang kita lakukan adalah menghindari menjadi orang kreatif di tempat kerja. Dengan praktek menghindar demikian maka logislah kalau dikatakan takut sukses

Penyebab

Ada dua alasan yang mendorong orang menghindari kegagalan. Alasan pertama adalah ketakutan (menghindari) karena diri sendiri dan alasan kedua adalah ketakutan karena orang lain. Menghindari kegagalan karena diri sendiri disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

  1. Kebiasaan.


    Orang yang tidak biasa menjalani gagasan orisinil dari dirinya ke tindakan nyata cenderung punya definisi lebih sempit tentang kegagalan di banding orang yang sudah biasa melakukan proses transformasi dari ide ke tindakan nyata. Kata: "Bisa karena biasa" mungkin cocok untuk menggambarkan hal ini. Para pengusaha yang sudah kenyang dengan asam-garam untung dan rugi pada umumnya lebih berani menghadapi kegagalan.

  2. Kemauan.

    Orang yang memiliki dorongan berprestasi kuat lebih berani menghadapi risiko kegagalan oleh dirinya ketimbang orang yang memilih untuk menjadi orang "biasa-biasa" atau "baik-baik" saja. Dorongan berprestasi adalah kekuatan mendobrak dari predikat "baik-baik saja" menjadi baik (good) kemudian menjadi besar (great) atau bergerak dari eskalasi mentalitas mengambil (to take), mendapatkan (to get) ke menciptakan (to create).

  3. Kemampuan.

    Orang yang tidak memiliki pengetahuan akurat tentang diri, orang lain, dan keadaan yang terjadi di sekitarnya secara otomatis lebih terdorong untuk menghindari kegagalan. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan akurat tentang diri, orang lain dan lingkungan sekitarnya akan bisa memprediksikan apa yang akan dia hadapi sehingga siap jika harus gagal. Dalam strategi peperangan, Sun Tzu mengatakan, kalau anda memiliki pengetahuan akurat tentang siapa anda dan musuh anda maka peperangan sedahsyat apapun yang akan terjadi tidak akan membuat anda takut kalah.

  4. Keterbatasan.

    Tidak memiliki cadangan berupa dukungan materi, relasi, dan kekuasaan juga dapat membuat orang menghindari kegagalan hanya untuk menghindari. Keterbatasan ini merupakan penyebab yang sering dijadikan "pembenar" mengapa kita takut gagal hanya karena takut alias tidak "pede" menghadapi keadaan. Dale Carnegie pernah menyarankan agar orang senantiasa punya "tabungan" dalam bentuk apapun agar tidak mudah diserang oleh rasa takut sukses.

  5. Kekhawatiran.

    Orang bisa terjangkit penyakit takut sukses karena kekhawatiran emosi yang berlebihan. Apa yang dikhawatirkan itu umumnya tidak terjadi secara riil menurut standar rasio yang logis. Orang semacam inilah yang oleh Mark Twin dikatakan orang yang tidak berani: "Courage is not the absent of fear but the mastery of fear". Orang yang berani bukan orang yang tidak normal (tidak memiliki rasa takut) tetapi murni orang yang menguasai rasa takut. Ralph Marstone menawarkan formula, begitu anda diserang oleh rasa takut yang tidak beralasan, maka lakukan hal yang sebaliknya untuk menantang rasa takut. Hanya dengan melakukan sesuatu-lah yang akan membuat anda berubah menjadi pengontrol rasa takut.

Sementara penyebab takut sukses karena orang lain dapat dikembalikan pada kualitas keyakinan yang rendah atas:

  • Kemampuan diri (confidence)

  • Kebenaran pendirian hidup (faith)

  • Kualitas untuk diyakini (trust)

Ketakutan karena orang lain adalah imajinasi yang bekerja secara negatif dan mestinya tidak muncul kalau kita yakin bahwa diri kita mampu merealisasikan kesuksesan yang kita inginkan meskipun harus gagal. Ketakutan juga tidak akan terjadi kalau kita yakin bahwa setiap kegagalan mengandung makna tertentu berupa panggilan untuk menjadi lebih jenius. Ketakutan juga tidak akan terjadi kalau kita yakin bahwa cara yang kita tempuh merealisasikan gagasan tidak melanggar nilai dan hukum apapun. Dalam praktek, hidup ini penuh dengan tawaran tipu daya berupa imajinasi kita tentang orang lain dan hanya bisa diselesaikan apabila kita kembali pada esensi, "Who we are". Sedikit saja esensi itu kita lepaskan, tipuan tersebut akan menyeret pada lingkaran persoalan imajinatif yang tidak berujung.

Mahamami Perbedaan

Merujuk pada ajaran Hukum Alam bahwa semua makhluk yang diciptakan di alam raya ini pastilah ada gunanya. Demikian pula berlaku pada rasa takut. Tidak seluruh rasa takut yang kita miliki berfungsi menggagalkan rencana sukses sebab pada dasarnya rasa takut adalah kekuatan (energi) potensial yang kalau diaktualkan dapat mendukung rencana kesuksesan kita. Aktualisasi rasa takut menuntut persyaratan mutlak sebagai pemilik perasaan. Menjadi pemilik rasa takut diperlukan mengasah kecerdasan emosi yang salah satu pilarnya adalah merebut tanggung jawab atas muatan perasaan ketika sedang merasakan sesuatu (proactive). Begitu tanggung jawab kita rebut maka kita bisa mengubah atau memberdayakan rasa takut yang oleh pendapat para pakar memiliki daya dorong tinggi. Ralph Marstone (dalam: Greatday: 1997) mengatakan: "Ada dua motivator dalam diri kita yaitu: motivator menginginkan sesuatu dan menghindari sesuatu. Motivator kedua lebih perkasa mendorong seseorang ketimbang motivator pertama".

Takut gagal semata karena ingin menghindari berbeda dengan menghindari kegagalan karena menginginkan kesuksesan seperti ketika kita dikejar oleh binatang buas. Karena rasa takutlah yang membuat kita berlari sekencang yang belum pernah kita lakukan. Menghindari kegagalan karena menghindari juga berbeda dengan menghindari untuk mengantisipasi agar kegagalan serupa tidak terjadi lagi dengan mempelajari aspek yang membedakan. Menghindari kegagalan semata karena menghindari pun berbeda dengan menghindari untuk mendorong-membuka kemungkinan peluang. Menghindari takut gagal hanya karena ingin selamat justru akan menjauhkan kita pada kepastian peluang. Takut kehilangan pekerjaan yang diberdayakan dengan mengembangkan diri (dorongan berprestasi) berbeda dengan orang yang dikuasai perasaan takut kehilangan pekerjaan semata.

Dengan memahami perbedaan di atas, kemungkinan besar kita dapat mempercepat proses identifikasi mana rasa takut yang justru mendekte, mengkondisikan, membatasi dan menutup kita untuk segera digantikan dengan muatan perasaan yang kita butuhkan.

Pembelajaran Hidup

Agar fenomena takut sukses jangan semata-mata didasarkan atas keinginan untuk menghindari kegagalan, maka apa yang kita butuhkan adalah menguasai rasa takut agar dapat digunakan sesuai kepentingan kita untuk menginginkan atau menghindar secara positif. Beberapa ide berikut dapat kita jadikan benih-benih kebiasaan hidup yang bisa mengasah kemampuan menguasai rasa takut sukses dalam kondisi hidup normal baik di kantor atau di mana saja.

  1. Membiasakan diri dengan keberanian berinisitif.

    Apa pun yang anda lakukan, jalankanlah atas inisiatif dari dalam, bukan karena ajakan orang lain atau karena mengajak orang lain. Keberanian berinisiatif akan memperjelas jawaban bahwa ternyata apa yang kita takuti selama ini bukanlah hal yang menakutkan. Keberanian berinisitif juga akan menanamkan rasa tanggung atas resiko hidup.

  2. Membiasakan diri dengan berpegang teguh pada pendirian hidup (to persist) ketika inisiatif bertindak telah kita cetuskan.

    Apapun yang anda mulai, ketika gagal jangan lantas ditinggalkan meskipun anda tidak melakukan pertahanan di jalur yang sedang "berbadai". Berhentilah sejenak (to pause) atau berubahlah secara kreatif. Sampai anda bisa berhasil dengan realisasi inisiatif, anda belum pernah akan merasakan rasa percaya diri bahwa diri anda mampu. Dengan pengalaman merasakan sukses, kita akan dibimbing untuk menjauhkan hidup dari pola lama yang didominasi oleh kontrol the perceived self menuju pola baru the real self.

  3. Membiasakan diri dengan keberanian menaklukkan tantangan hidup (to conquer challenge) atau memiliki mentalitas "I CAN".

    Prestasi hidup tidak dapat diraih kecuali setelah anda berani meyakini bahwa apa yang di dalam diri lebih besar ketimbang tantangan di luar. Mentalitas bangkit demikian merupakan awal menuju realisasi kebangkitan yang sebenarnya. Kebangkitan tidak bisa dimiliki oleh orang yang bermentalitas roboh oleh tantangan. Tepatlah apa yang dikatakan Jim Rohn, kebangkitan finansial seseorang tidak dimulai dari faktor kebangkitan ekonomi tetapi dari faktor kebangkitan filosofi. Hanya saja yang sering kita lakukan adalah menunggu terjadinya kebangkitan ekonomi untuk membangkitkan kemakmuran finansial. Menunggu situasi sempurna dan bebas dari hambatan sebagai syarat untuk berinisiatif, padahal kesempurnaan itu hakekatnya tidak pernah ada kecuali kita ciptakan.

  4. Membiasakan diri untuk memperkecil "zona unknown" di wilayah hidup kita dengan mempelajari pengetahuan (knowledge), meningkatkan kemampuan (ability) dan menambah keahlian (skill).

    Logika alamiahnya sangat jelas. Bagi orang yang tidak tahu seluk beluk hutan mungkin mendengar kata hutan saja sudah takut tetapi tidak demikian bagi yang mengetahuinya. Memperkecil zone unknown dengan pembelajaran adalah kurikulum alamiah di mana semua keahlian manusia diperoleh dengan cara ini (baca: maksudnya belajar) yang terkadang melibatkan try dan errors.

  5. Membiasakan diri dengan menambah dukungan eksternal.

    Tidak selamanya benar kalau dukungan ditafsirkan harus berupa materi. Dalam bisnis misalnya networking atau relationship adalah dukungan. Bahkan dalam dunis bisnis relasi dapat dikatakan sebagai suatu produk (Relationship in business is product). Ketika pebisnis menghadapi ancaman keterbatasan modal material, maka keterbatasan tersebut masih belum menakutkan apabila ia punya cadangan yang saat ini berada di tangan orang lain atau mengenal orang yang bisa diminta bantuan untuk menyelesaikan keterbatasannya atas dasar relationship trust. Maxwell mengatakan: " Tidak ada problem yang tidak selesai dengan dukungan orang banyak tetapi hanya sedikit yang selesai tanpa dukungan". Menemukan dukungan eksternal bisa dilakukan dengan mengasah keahlian membuat sinergisasi keunggulan dalam bentuk apapun.

Walhasil, takut sukses adalah fenomena manusiawi dan alamiah atau normal dalam pengertian mayoritas. Kepada kitalah ditawarkan pilihan apakah kita memilih menjadi bagian dari kelompok mayoritas yang berarti gagal atau memilih menjadi bagian kelompok minoritas: orang-orang sukses dengan gagasannya. Finish.

Meaning Of Life

Kamis, Agustus 06, 2009      0 komentar

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. "(Adz-Dzariat:56).

Tuhan telah memberikan kesempurnaan bagi manusia (walaupun tiada manusia yang sempurna 100%) tapi jika dibandingkan dengan makhluk tuhan lainnya manusia diciptakan sangat sempurna, yakni dengan pemberian hati dan pikiran agar kita dapat menentukan jalan hidup yang akan dilalui, mau kemana kah kita?.

Setiap manusia hakikatnya ingin memiliki kehidupan yang normal, senantiasa menginginkan kehidupan penuh makna, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. ia mendambakan dirinya menjadi orang yang sukses, percaya diri, bertanggungjawab, dihargai dan menghargai, dicintai dan mencintai.
namun pada realitanya tidak lah semua itu dapat diraih oleh setiap manusia, masih banyak hal yang tidak diinginkan oleh manusia itu terjadi, terjerembab pada segudang masalah hidup yang rumit yang mungkin akan berakhir nestapa, hidup tanpa makna dan arah dan tujuan yang jelas, dan tak tau apa yang harus dilakukannya.
Makna hidup memiliki sifat yang unik dan personal. artinya, apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain, ataupun sebaliknya. dalam hal ini makna hidup seseorang bersifat khusus, berbeda antara satu dengan yang lainnya. yang apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menimbulkan kehidupan akan dirasakan lebih berarti dan berharga yang akhirnya berujung pada kebahagiaan (happiness). Selanjutnya, makna hidup memberikan pedoman dan arah tujuan terhadap aktivitas kita sehari-hari, seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya.
Namun ketika manusia menemui hidupnya tak bermakna, maka akan timbulah citra diri negatif, karena mereka menganggap dirinya tak bermakna, kehilangan martabat kemanusiaannya, merasa tak perlu bertanggung jawab atas hidupnya (saya berbuat demikian karena situasi dan kondisi yang mendorongnya), atau berlindung dibalik hal yang misterius (saya benar-benar tak menyadari perbuatan itu, besar kemungkinan karena pengalaman-pengalaman masa kecil yang tidak bahagia). citra demikian ialah karena karakteristik eksistensi manusia adalah kesadaran dan tanggungjawab. manusia yang belum merasa dirinya bermakna ialah manusia yang belum menyadari bertanggungjawab atas hidupnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan manusia? Beribadah hanya Kepada-Nya..karena hidup kita hanya untuk ibadah. ibadah membawa manusia pada kesadaran dan tanggungjawab. ibadah memberikan nuansa bening pada nurani manusia, mengganti segala keresahan dan kebimbangan dengan keyakinan sebagai karunia dan rahmat dari Allah SWT. ketika hidup tercurah hanya untuk ibadah kepada-nya, saat itulah manusia akan menemukan makna hidupnya.

yang benar itu datangnya dari sang pencipta dan yang salah, keliru itu pribadi dari penulis.

wassalam..